Rasakan dan Tersenyumlah
Ini adalah sebuah kisah pendek dalam beribu kisah di hidupku.
Aku adalah siswi yang tak peduli dengan lingkungan yang menurutku tak perlu dipedulikan.
Nama murid di kelasku saja tak semua kuingat. Hanya segelintir. Yah, inilah aku. Padahal sudah dua tahun aku berada di kelas ini. Tetap saja rasa ingin tahu itu tak ada.
Terutama dia, sama sekali aku tak pernah mengurusnya, sebelumnya maksudku. Semua berubah saat itu. Saat berawalnya kisah ini.
Semua berawal dari seseorang memanggil namaku. Aku menengok. Dia…, aku tahu dia anak yang satu kelas denganku. Yang kupikirkan saat tahu dialah yang memanggilku adalah ‘darimana dia tahu namaku’.
Dia menghampiriku. Dan aku diam saja. Kalau dia menghampiriku berarti dia akan memberi tahu sesuatu. Jadi aku tak perlu bertanya ‘ada apa?’. Bagus juga, menghemat tenaga.
“Dosen menyuruh kita untuk melakukan tugas berkelompok. Dan aku bersama denganmu”
Hah? Aku dan dia? Lucu sekali aku harus melakukan tugas dengan orang yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Sangat lucu sampai aku tak bisa tertawa.
“Ya sudah. Mohon kerjasamanya. Kapan kita akan memulainya?”
Langsung kuarahkan pembicaraan kami ke tugas itu agar tak membuang waktuku lebih lama. Sebenarnya, agar aku tak harus berhubungan dengan anak laki-laki ini berlama-lama.
Kami sudah menentukan segalanya. Apa, dimana, kapan, bagaimana. Semua. Aku berjalan meninggalkannya, menuju ke arah teman-temanku. Secepatnya.
***
Akhirnya hari yang ditentukan tiba. Kami mengerjakannya sebaik mungkin. Dia, sangat baik dan murah tersenyum. Berbeda denganku yang menganggap senyumanku itu terlalu berharga dan harus kuberikan untuk orang-orang yang benar-benar penting. Untuk orang lain, jangan harap.
Hari pertama, kedua, ketiga, semua biasa saja. Tugas ini memang tak bisa dilakukan dalam 1 minggu. Minimal, kata dosenku, lima bulan. Gila. Aku sudah tak tahan dengan dia. Berhubungan dengan orang yang masih saja belum kuketahui namanya karena dia tak mau memperkenalkan dirinya dan aku tak sudi untuk bertanya karena menurutku dia bukan orang yang cukup penting dalam hidupku.
Saat ini aku sedang termenung menatap ke atas langit. Sedang dia, duduk di sampingku dan serius mengerjakan bagiannya. Aku tak akan membantunya. Salah siapa dia memilih bagian sulit? Kalau ingin bersikap baik, setidaknya jangan merepotkan dirinya sendiri juga bisa.
“Hei”dia menepuk pundakku.
Aku menatapnya tajam karena aku tak suka disentuh oleh siapapun kecuali orang yang aku anggap boleh.
“Kenapa kau melamun?”dia tersenyum.
Biasanya aku biasa saja melihat senyumnya. Tapi kini, ada yang aneh, tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat melihat senyumannya. Wajahku panas, saat kulihat di cermin, merah.
“Kau marah? Maaf”
“Bu.., bukan”
Kami melanjutkan melakukan tugas seperti biasa. Yang beda adalah aku tak bisa berhenti memandangnya. Yang beda adalah, aku menyukainya. Orang yang masih belum kukenal namanya.
“Siapa namamu?”tanyaku padanya setelah memberanikan diri cukup lama, dengan nada kusiniskan agar tidak terlihat aneh.
Dia diam saja sambil menatap kebingungan.
“Kau tahu? Kita sudah satu kelas dua tahun dan aku tak tahu siapa namamu”jelasku padanya karena aku yakin dia pasti bertanya dalam hati ‘aku yang satu kelas denganmu saja kau tak kenal?’. Terlihat jelas dari wajahnya yang tak percaya tadi.
Setelah mengetahui namanya, aku mencari tahu lebih banyak tentangnya. Entah ada apa aku menyukainya. Kebaikannya atau apa yang membuatku menyukainya aku juga tak tahu. Tapi dia memang baik ke semua orang.
***
Waktu-waktu dan kejadian-kejadian yang kami alami bersama, aku bisa mengingatnya dengan baik. Sebelumnya, aku tak pernah sudi mengingat kejadian apapun yang tak penting. Sekarang, kejadian biasapun teringat dengan sendirinya. Mungkin inilah yang disebut kekuatan cinta.
Masa-masa dengannya adalah masa yang menyenangkan. Walaupun ekspersi wajahku tak kan menunjukkannya, tapi aku dan hatikulah yang merasakannya. Percayalah.
Semua mulai berubah. Karena masa dengannya begitu menyenangkan, tak terasa waktu berakhirnya tugas kami sudah hampir tiba. Kurang beberapa hari saja. Aku tak yakin kedekatan kami akan bertahan. Aku yakin kami akan seperti dulu, masa dimana aku tak mengenalnya. Tapi, bagaimana aku bisa? Aku terlanjur tahu banyak hal tentang dia. Bahkan aku juga menyimpan rasa suka padanya.
“Selesai! Akhirnya…”
Dia mengucapkannya sembil tersenyum puas dan senang. Senyum yang sangat manis. Senyum yang membuat aku pertama kali berdebar. Aku hanya memandanginya dari awal. Apakah aku bisa melupakannya? Aku menunduk lesu, sudah pasti tak mungkin.
“Ada apa?”
Dia sadar aku memandangnya terus menerus. Tunggu, apakah dia juga memperhatikanku?
“Tak apa. Kenapa?”
“Tidak. Kau itu memang cuek sekali ya?”
Cuek? Aku yakin dia tak akan mengatakan itu lagi jika dia tahu aku diam-diam menjadi stalkernya.
“Tidak. Kau tak akan tahu apapun tentangku”
Bahkan perasaanku dan kegundahanku untukmu juga kau tak kan tahu.
“Haha, ya sudah. Kau lesu sekali. Ayo kutraktir!”
Aku lesu karena kau, bodoh. Sudahlah. Aku berjalan di sampingnya. Aku memandangnya terus menerus. Merasa besok aku tak akan melihat dia lagi.
“Hei, apa ada sesuatu di wajahku?”
“Ti..dak”
Dia lagi-lagi tahu aku memandanginya. Memalukan. Aku rasa wajahku memerah karena pipiku tiba-tiba memanas. Bahkan jantungku berdegup sangat keras dan keringat dingin hampir ke luar. Maka itu aku menunduk. Dia tertawa kecil dan aku merasa tambah malu. Bahkan aku juga merasa bodoh.
Dia menyentuh pipiku, dengan kedua tangannya, mengadahkan kepalaku.
“Kenapa malu?”
“Karena kau tahu aku memandangimu”
“Kenapa kau memandangiku?”
“Aneh saja. Aku sudah dua tahun sekelas, tapi baru tahu namamu karena tugas ini. Lalu tiba-tiba kita sudah begini dekat. Harusnya aku mengenalmu dari dulu”
“Haha, kau memang sangat cuek”
“Yaya, kau sangat perhatian. Semua orang mengatakan itu”
“Haha, bukan. Aku hanya tidak secuek kau saja. Aku sudah tahu namamu dari dulu lho”
“Darimana?”
“Saat pertama masuk, kau menginjak suatu kertas penting. Saat pemiliknya histeris, kau hanya menatap tajam dan pergi. Sejak saat itu aku mencari tahu tentangmu”
“Untuk balas dendam? Aku bahkan tak ingat kejadian itu. Kalaupun iya, bukan salahku kalau menginjak sesuatu yang kukira sampah”
Dia menggeleng, lalu tertawa. Dan aku gugup lagi melihat senyumnya. Aku memalingkan wajah. Tapi, dia memalingkannya kembali. Dia masih memperhatikanku walau tertawa. Dia menatap mataku sangat lama, dan saat itu pandanganku hanya dia. Mata kami bertemu, singkatnya. Aku serasa terhisap, jantungku berdetak kencang. Aku juga merasakan aliran darah yang deras karena gugupnya. Wajahkupun menjadi sangat merah. Aku sangat takut. Aku takut dia tahu aku menyukainya dan hubungan kami akan kacau balau. Walau aku tahu nantinya juga akan terputus, tapi menurutku, satu detik bersamanya sangat berharga.
“Aku ada urusan. Sampai jumpa”
Aku berlari. Menemukan suatu tempat sepi, duduk, dan menunduk. Air mataku keluar perlahan. Aku tak bisa mengontrol emosiku. Dasar aku dungu!
***
Akhirnya hari itu tiba, semua seperti biasa. Kecuali aku yang memandanginya dari kejauhan, dan tersayat sangat dalam. Dia telah kembali ke kehidupannya yang tak kan bisa kumasuki. Aku menutup mata, berharap aku bisa melupakannya.
Hening, kosong. Pikiranku melayang ke alam sana, aku seperti hampir tertidur dalam lamunan mimpi. Mimpi yang kosong.
“Hei. Lesu lagi?”
Aku membuka mata. Semua keheningan dalam pikiran tadi terbuyar. Kulihat senyumnya, masih senyum yang menawan. Aku bingung harus menjawab apa.
“Traktirannya diganti hari ini saja ya?”
“Ya”
Karena kebingunganku, aku langsung saja menjawab ‘ya’. Ah, dasar aku dungu!!
***
Aku memilih tempat yang jauh dari keramaian. Bukan karena ingin romantis atau apa, tapi malu dan gugup jika harus ditatap banyak orang. Apalagi, kalau ada yang mengenali kami. Setidaknya tak ada yang tahu ini adalah aku.
Semua berjalan lancar. Selanjutnya dia mengajakku, memaksa tepatnya, untuk menonton di bioskop dan berjalan-jalan. Aneh, entah aku yang terlalu percaya diri atau memang ini terlihat seperti kencan. Ada apa?
“Kenapa kau sangat baik padaku? Aku bahkan tak peduli jika kau menderita saat mengerjakan bagian tugasmu yang begitu banyak”
“Tak apa. Aku hanya senang tugas kita sudah selesai dan sukses”
“Hal seperti itu tak perlu dirayakan”
Karena tugas selesai itulah, aku dan kau tak bisa seperti dulu dan aku harus megharapkanmu dari kejauhan. Akupun tak punya kesempatan ataupun topik pembicaraan kalau ingin mengobrol denganmu.
“Kau tak suka? Maaf”
“Bukan, ak…”
“Dari awal, aku hanya ingin membuatmu tersenyum”
Deg! Aku tersenyum?! Emosiku tak terkontrol lagi. Wajahku memerah.
“Ma..maksudmu?”
“Banyak orang bilang kau jarang tersenyum”
“Jadi karena itulah kau baik padaku?”
“Ya”
“Hanya itu?”
Aku berharap dia menjawab ‘aku ingin kau tersenyum karena aku menyukaimu’. Tapi semua pupus tatkala dia hanya menjawab ‘ya’. Mataku memandang sayu ke arahnya. Pandangan kesedihan, bagiku. Entah pandangan apa menurutnya.
“Iya kurasa”
Kesedihanku makin memuncak. Hanya itu? Ini sangat mengejutkan. Cuek, sulit tersenyum. Tak adakah satupun kesan baikku di depannya?
Aku tersenyum, pahit. Tapi aku yakin dia tak kan tahu itu senyum pahit karena aku adalah manusia tanpa ekspresi bagi kebanyakan orang yang tak mengenalku dengan baik. Dia termasuk tak mengenal dengan baik karena dia mendekatiku hanya untuk senyuman dariku. Berarti, kalau sudah dapat dia akan pergi bukan?
“Terima kasih. Jangan merepotkan dirimu hanya untuk senyumku lagi”
Aku meninggalkan dia. Secepat mungkin sebelum hatiku tambah sakit dan mataku tambah memancarkaun aura kesedihan.
***
Esokpun sudah tiba, dengan langkah gontai aku berangkat ke kampus. Rasanya lebih berat dari sebelum ada tugas bodoh itu.
“Pagi”
Tiba-tiba dia sudah di sebelahku dan berjalan berdampingan denganku, dengan senyuman dalam sapaannya itu. Hal ini membuat semua mata memandang ke arah kami. Aku menggerutu karena pasti kebiasaan gadis-gadis lain akan muncul.
Daripada itu, aku heran dengan dia. Bukankah dia sudah melihatku tersenyum? Kenapa masih menemaniku? Itu hanya akan membuatku semakin terpuruk dan terluka, karena aku tahu dia tak tulus menganggapku, temanlah minimal.
“Ada apa lagi?”
“Aku tahu”
“Apa?”
Bukankah sudah kubilang kalau dia tak kan tahu apapun tentangku?
“Senyummu palsu kan?”
Aku berhenti berjalan, lalu memandangnya dengan serius, tepat di matanya. Tatapan tajam tapi penuh kesedihan.
“Berarti, kau memang tak tahu apapun. Sudah cukup. Berhenti menyakitiku”
“Menyakitimu?”
“Ya. Selama ini tak satupun orang sebaik kau padaku. Aku sangat suka padamu karena kebaikan dan keramahanmu. Tapi ternyata kebaikan itu hanya karena kau penasaran dengan senyumku. Kebaikanmu, semua palsu. Harusnya aku sudah curiga, tak ada orang yang bisa sebaik itu kecuali tanpa tujuan tersendiri. Kau tahu?”
Aku berhenti sejenak. Beberapa orang terlihat mencoba menguping. Setelah semua normal, aku meneruskan kata-kataku walaupun wajahnya terlihat sangat terkejut.
“Senyumanku yang paling tulus adalah saat aku tak tersenyum atau saat aku memerah karena…”
Aku menarik nafasku dalam-dalam, lalu mengehembuskannya. Dia menatapku seolah bertanya ‘karena apa?’
“…aku sangat menyukaimu, melebihi teman mungkin. Aku tahu ini hal bodoh dan memalukan. Akupun menyesal bisa menyukaimu”
Saat dia mulai termenung, aku segera berlari lalu bersembunyi. Sejauh mungkin, duduk, dan merenungi.
***
Aku tak berani menampakkan diriku di depannya. Jadi kuputuskan mengambil mata kuliah lain, dengan kata lain, merubah jadwal mata kuliahku. Saat ini aku sedang menyesal. Lega memang, tapi pasti dia akan menambah kesan buruk ‘tak tahu malu’ karena mengungkapkan perasaanku. Apalagi ini rasa yang sepihak. Aku berjalan menuju kelas selanjutnya.
Langkahku terhenti. Dia sekarang di depanku, sedang berbuat baik pada gadis lain. Ternyata aku memang bukan seseorang yang spesial atau berarti di hidupnya, apalagi di hatinya. Cukup sudah, rasa sakit ini menumpuk hingga terlalu banyak.
Aku berlari. Secepat mungkin tanpa mempedulikan lingkungan sekitarku. Tiba-tiba sebuah kendaraan menghantam dan menembus tubuhku. Banyak orang melihat ragaku yang berlumuran cairan kental merah.
Aku duduk dan menunggu sesuatu menjemputku ke suatu tempat. Sambil memandangi ragaku, dan memikirkan rasa sakit dan cinta ini.
Senyumku mengembang, mengingat senyum menawannya. Air mataku rupanya masih bisa menetes.
Rasa ini, kubawa mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar